Saturday, July 19, 2014

Menjadi seorang petani

Aku tak pernah berpikir menjadi seorang petani. Dengan mengacu pada jejak pendidikanku yang berkisar tentang IT, aku memang sengaja mengarahkan masa depanku saat itu pada teknologi informasi. Namun itu dulu. Saat itu aku masih sering menatap keatas pada kesuksesan tokoh tokoh komputer yang begitu sukses merajai dunia. Bill gates dan semacam itulah. Bagaimana seorang anak muda tidak ingin menjadi sukses seperti itu? Alangkah banyak hal yang kita bisa kita lakukan jika kita banyak uang, aku berpikir sesederhana itu.

Semenjak lulus, sesuai dengan pendidikanku, aku mulai mencari yang sesuai dengan ijazah. Beberapa kali melalui tes dan akhirnya di terima pada sebuah software house di Bali. Memang bukan duit yang aku cari saat itu, hanya sebuah pengakuan aku bisa menghidupi diri sendiri. Tapi memang dengan gaji itu aku bisa mencukupi kebutuhan semuanya. Hingga aku sadar setelah beberapa tahun kerja di belakang komputer, aku merasa tak bisa menjadi diri sendiri. Aku jarang bisa menikmati pekerjaanku. Pekerjaan di depan komputer tanpa sering berinteraksi di lapangan menjadikanku cepat bosan. Saat itulah aku mulai meragukan apakah aku mampu terus menjalani semua ini.

Saat ini, aku pulang kembali ke desa. Aku tak pernah menyangka akhirnya aku kembali ke asal. Menjadi petani. Berkutat dengan sawah dan kebun, membikin perencanaan penyemprotan pestisida, mengefektifkan jalur komunikasi dan eksekusi dari perencanaan ke lapangan, bagaimana meningkatkan nilai jual hasil panen. Namun ternyata, dengan itu semua, aku bisa temukan ketenangan, keceriaan. Melihat sawah yang menghijau, air jernih yang mengalir di kali, semangat para petani mengolah tanah, itu semua luar biasa, itu semua menyisakan perasaan tenang.

Tentu saja meski seorang petani aku masih menerapkan semua ilmu yang aku pernah pelajari. Sebisa mungkin segala hal yang bisa diterapkan akan aku terapkan. Dan kini impian yang ada adalah bagaimana meningkatkan pertanian ini semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraanku dan petani petani lain di sekitarku. Mungkin memang tidak menjadi seperti semakmur Bill gates, tapi aku yakin akan menjadi diri sendiri.

Friday, July 18, 2014

Kepahlawanan yang pudar posted at Feb 21, '09 11:15 PM in multiply

Negara ini dilahirkan dari ujung bedil,
dari darah pahlawan yang mengering,
dari keringat-keringat perjuangan yang
menguap. Lahir dari jiwa-jiwa yang
pantang menyerah untuk sebuah cita-
cita yang besar, yang mengisi hatinya
dengan semangat membara, yang
merelakan dagingnya menjadi
santapan pelor penjajah. Perang,
dalam masa itu, merupakan pilihan
terbaik, perdamaian, adalah impian
yang dibangun dan diawali dengan
perang untuk kemerdekaan tersebut.
Kita semua tahu, mimpi itu telah
tercapai, tetapi sekarang ada mimpi
yang lain, dan mimpi tentang
kemerdekaan bukanlah mimpi
generasi ini, mimpi tersebut sudah
basi, sebaiknya diceritakan sebagai
dongeng di pelajaran sejarah, atau
mungkin disebuah buku berdebu di
perpustakaan Negara.
Kita sering suka lupa akan besar jiwa
mereka, para pahlawan tersebut. Kita
lebih suka mendambakan pahlawan
yang lebih modern, lebih elit, berjas
rapi yang turun dari sebuah
limousine, yang memegang sebuah
gadget paling modern. Kita tidak
membutuhkan fosil sebagai bentuk
pahlawan, atau nama-nama yang
terukir di prasasti-prasasti yang ditulis
diatas marmer kusam. Dan kita tahu
juga, pemikiran seperti ini tak akan
mengoyak mereka, toh mereka sudah
tidak ada lagi hati dan daging. Kita ini
generasi kurang ajar, generasi malin
kundang pada ibu sejarah, ibunya
para pahlawan.
Sudah lagi tak ingat kebesaran sebuah
bangsa adalah penghargaan kepada
para pahlawannya. Rumus lain
penilaian kebesaran bangsa telah
dibangun, peran para pahlawan
disisihkan. Bukankah para pahlawan
kini cuma pantas sebagai iklan politik
lima tahunan? Dan mungkin
beberapa tahun lagi, artis akan
sebagai ganti para pahlawan tersebut.
Mereka yang cantik, yang cakep,
memang terlihat lebih enak dilayar
kaca, bisa lebih menabur mimpi. Dan
wajah yang bersih itu terasa lebih
dekat dari mereka yang telah
terbenam di kalang tanah.
Aku masih ingat beberapa, gambar-
gambar pahlawan Nasional di buku
sejarah waktu masih SD. Ada yang
memegang keris, bambu runcing,
mandau, dan tombak. Mereka tampak
jauh, ruang kosong waktu terbentang
lebar diantara aku dan wajah-wajah
itu. Dalam imajinasiku mereka berkata
dengan nada sendu “Kami yang kini
terbaring antara Krawang-Bekasi, tak
bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat
senjata lagi…”. Suara itu kini semakin
lemah, terserak diantara deru sinetron
dan iklan pemilu.
Mereka mungkin tak minta harga,
mereka menjual murah nyawa
dengan berharap bahwa akan ada
masa depan yang lebih baik bagi anak
cucunya, bagi generasi-generasi baru
yang lahir dari udara kemerdekaan,
bagi sebuah bangsa yang akan
disegani diseluruh dunia. Apakah
mereka terlalu banyak berharap?
Nada suara mereka makin muram
saat berkata “…Kami sudah coba apa
yang kami bisa, tapi kerja belum
selesai, belum apa-apa…”
Apakah mereka putus asa ketika
spongebob dan Patrick lebih dikenal
oleh bocah-bocah daripada nama
mereka?
…………………
Tak peduli harga
Tak peduli nyawa
Lahirku di depan mata
Kecewalah para pengelana, yang sirna
dibelantara.
Violachie
Kuta, Pebruari 2009