Friday, July 18, 2014

Kepahlawanan yang pudar posted at Feb 21, '09 11:15 PM in multiply

Negara ini dilahirkan dari ujung bedil,
dari darah pahlawan yang mengering,
dari keringat-keringat perjuangan yang
menguap. Lahir dari jiwa-jiwa yang
pantang menyerah untuk sebuah cita-
cita yang besar, yang mengisi hatinya
dengan semangat membara, yang
merelakan dagingnya menjadi
santapan pelor penjajah. Perang,
dalam masa itu, merupakan pilihan
terbaik, perdamaian, adalah impian
yang dibangun dan diawali dengan
perang untuk kemerdekaan tersebut.
Kita semua tahu, mimpi itu telah
tercapai, tetapi sekarang ada mimpi
yang lain, dan mimpi tentang
kemerdekaan bukanlah mimpi
generasi ini, mimpi tersebut sudah
basi, sebaiknya diceritakan sebagai
dongeng di pelajaran sejarah, atau
mungkin disebuah buku berdebu di
perpustakaan Negara.
Kita sering suka lupa akan besar jiwa
mereka, para pahlawan tersebut. Kita
lebih suka mendambakan pahlawan
yang lebih modern, lebih elit, berjas
rapi yang turun dari sebuah
limousine, yang memegang sebuah
gadget paling modern. Kita tidak
membutuhkan fosil sebagai bentuk
pahlawan, atau nama-nama yang
terukir di prasasti-prasasti yang ditulis
diatas marmer kusam. Dan kita tahu
juga, pemikiran seperti ini tak akan
mengoyak mereka, toh mereka sudah
tidak ada lagi hati dan daging. Kita ini
generasi kurang ajar, generasi malin
kundang pada ibu sejarah, ibunya
para pahlawan.
Sudah lagi tak ingat kebesaran sebuah
bangsa adalah penghargaan kepada
para pahlawannya. Rumus lain
penilaian kebesaran bangsa telah
dibangun, peran para pahlawan
disisihkan. Bukankah para pahlawan
kini cuma pantas sebagai iklan politik
lima tahunan? Dan mungkin
beberapa tahun lagi, artis akan
sebagai ganti para pahlawan tersebut.
Mereka yang cantik, yang cakep,
memang terlihat lebih enak dilayar
kaca, bisa lebih menabur mimpi. Dan
wajah yang bersih itu terasa lebih
dekat dari mereka yang telah
terbenam di kalang tanah.
Aku masih ingat beberapa, gambar-
gambar pahlawan Nasional di buku
sejarah waktu masih SD. Ada yang
memegang keris, bambu runcing,
mandau, dan tombak. Mereka tampak
jauh, ruang kosong waktu terbentang
lebar diantara aku dan wajah-wajah
itu. Dalam imajinasiku mereka berkata
dengan nada sendu “Kami yang kini
terbaring antara Krawang-Bekasi, tak
bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat
senjata lagi…”. Suara itu kini semakin
lemah, terserak diantara deru sinetron
dan iklan pemilu.
Mereka mungkin tak minta harga,
mereka menjual murah nyawa
dengan berharap bahwa akan ada
masa depan yang lebih baik bagi anak
cucunya, bagi generasi-generasi baru
yang lahir dari udara kemerdekaan,
bagi sebuah bangsa yang akan
disegani diseluruh dunia. Apakah
mereka terlalu banyak berharap?
Nada suara mereka makin muram
saat berkata “…Kami sudah coba apa
yang kami bisa, tapi kerja belum
selesai, belum apa-apa…”
Apakah mereka putus asa ketika
spongebob dan Patrick lebih dikenal
oleh bocah-bocah daripada nama
mereka?
…………………
Tak peduli harga
Tak peduli nyawa
Lahirku di depan mata
Kecewalah para pengelana, yang sirna
dibelantara.
Violachie
Kuta, Pebruari 2009

No comments: