Friday, July 06, 2007

Sebuah lilin kecil ingin bicara lebih banyak arti daripada sebuah nyala kerdip di remang malam. Tapi apalah daya saat angin badai memupuskan segala harapnya. Hingga akhirnya seorang gadis kecil datang padanya membawa sekotak korek api dan menyalakannya kembali. Sambil menari, dia menyanyi di sekeliling lilin itu. Akankah semua kebahagiaanku karena dapat memberinya cahaya ini akan direbut mentari? Tanya lilin dalam hati, tatkala sinarnya membuat nyalanya tak lagi berarti? Akankah semua pengorbanannya dengan membakar dirinya hanya menjadi cerita bagi kesesaatan saja bagi gadis kecil itu? Dan ketika mentari telah kembali datang, dia hanya lilin, cuma lilin yang telah meleler badannya di tanah yang berdebu.

Percintaan

"untuk Saini sang platonis"

ada keterbatasan dalam diri yang memaksa aku menjadi gila,
semua beranjak dalam jejak batu yang mengeras dalam sejarah,
semua kepatuhan yang lepas mengembara dengan sayap pincang,
dalam kesendirian, dalam kesepian, dipuja oleh angan malam.

namun kita, bersama, mencoba melangkah lepas dari muara angan,
dengan bayang yang menyalib dirinya pada percintaan,
tapi kita tak sendiri, beregu menuju perindraan baru,
memuja-muja, memimpi-mimpi, mengharap-harap dalam bisu,
memahami kecantikan dan rasa sayang dengan darah dan nyawa.

Menunggu bulan terpahat

Aku Jatuh Cinta? aku tak percaya itu semua terjadi padaku. Aku Pygmalion yang sombong, egois dan gila ini telah takluk pada wanita?. Memang semua bisa terjadi di dunia ini, dan ini adalah salah satu dari yang aneh tersebut. Seorang wanita yang ayu dan anggun telah masuk dan berkuasa di istana jiwaku. Aku mungkin memang orang yang bodoh di dunia ini hingga aku tak tahu bahwa diriku sendiri telah jatuh cinta. Ketika aku pertama kali melihat dia si Venus yang anggun, ada perasaan aneh yang menjalar di dalam aliran darah buas yang mengalir lepas dari hatiku. Aku tak pernah menganggap itu adalah cinta, dan sampai sekarang pun aku tak pernah tahu perasaan apa itu.

Jika memang aku jatuh cinta, maka harusnya aku akan menjadikan dia kekasihku, menemaninya memangku cinta dalam hati dan meminang seluruh jiwanya agar takluk dalam kesepakatan sakral itu. Tapi aku tak pernah sanggup menjadikan aku rajanya, aku hanya sanggup menjadikan dia ratuku. Ratuku, aku ingin selalu menyebutnya begitu, terlalu berarti untuk hanya jadi wanita yang menghabiskan waktunya bersama aku yang tak berarti ini. Untuk rasa sayang dan cinta ini, aku akan memahatkan wajahnya di rembulan, agar nanti aku dapat melihat wajahnya dalam setiap purnama. Aku bayangkan nanti aku duduk di telaga sepi berteman dengan binatang malam yang meringkik sunyi menemaniku menatap wajahnya di purnama yang memancar cahya emas.

Sombong, memang aku sombong, aku selalu tahu hal itu tapi tak pernah bisa menghentikannya. Aku selalu berkata aku akan membangun istana besar di tengah padang luas. Dengan taman bunga yang indah warna pelangi sehingga burung-burung terbang dan hinggap menikmati keindahan itu tanpa takut untuk ditangkap dalam sangkar sempit yang pengap. Apalagi di istana itu? Tidak lain adalah angin sepoi dari barat yang selalu bertiup memberitakan kebahagiaan dan berita suka cita membelai rambut dan wajah setiap insan. Di istanaku itu nantilah aku ingin memiliki seorang wanita yang menjadi ratuku, ratu yang bertahta di istanaku, juga dihatiku.

Keabadianku

Aku terus berpikir akankah kebodohan ini yang akan berkuasa. Bertahta di malam dan siang dalam pancaran mentari. Bersembunyi di bawah sadar dan menikamku ketika aku sedang sibuk berlari mengejar mimpi. Aku tahu, aku takkan pernah berhenti berlari hingga tanah berdebu dibawahku basah oleh keringatku. Dan saat itu aku mungkin masih saja bodoh mencoba untuk menatap mentari. Mengepalkan tanganku dan memukul bayang-bayang.

Orang lain yang lewat dikiri kanan berlalu saja seperti awan, hujan pun enggan untuk mengakhiri rasa gersang dan kesendirian walaupun hanya berupa suara rintik di kejauhan. Ah entahlah, aku memandang laut luas dihadapku tanpa pernah mencoba untuk menyeberanginya, walaupun aku tahu disana, padang hijau dan rintik hujan dan angin selalu berhembus dalam setiap detak jantung. Ketakutanku akan perwujudan perjuangan itu menenggelamkan aku dalam lautan mimpi yang dalam. Aku coba berenang dan pergi, tapi ternyata di dasarnya lebih baik daripada aku tersengat matahari yang panas. Sehingga aku lebih senang menjadi bodoh dan memuja-muja mimpi.

“Sadjak Buat Anak-anak”

Kalau kutahu adanja hubungan antara bintang dan matamu

Adalah hatiku, njala jang menerangi gelita duka

Kadang kulupakan bahwa akupun seorang penghuni

di Dunia Ajaib tempat kita bersaudara dengan binatang dan bunga


Saini K.M, 1962
Hhhhrrrrrrrgggghhhhhhhh

pernahkah kau berpikir bodoh... maksudku jika kamu mencintai seseorang dan memberikan seluruh hatimu.... sedangkan dia tidak mencintaimu?

Yang membuat setiap mimpi bertemu dengannya yang seharusnya menjadi sebuah mimpi indah menjadi mimpi buruk, sebab kamu akan terbangun dengan rasa rindu dan kalah, karena kamu tahu bahwa dia tidak disisimu..bahkan tidak mencintaimu.... seperti sesosok hantu malam yang ingin mencari jalan keluar dari kegelapan, walau dia tahu sinar mentari hanya akan membuatnya sirna dan menderita....

aku pernah... dan tak ingin mengulanginya....tapi itu bukan berarti bahwa lepas semua perasaan ini... hanyalah api dalam sekam... membara meski tak tampak dari luar. Siapa yang tahu sinar sorga jika ia tak pernah mati? Aku pun akan selalu tenggelam dalam kesepian.....

Betapa rindu benar akan datangnya dia, namun apakah ini berarti aku gila? Siapa yang dapat menyalahkan seorang yang jatuh cinta? Kita orang lepas, dan akan selalu bicara tentang kebebasan.....

Walau mungkin dalam malam dapat terlihat venus yang anggun di langit.... namun adakah jiwamu dapat mencapainya? bahkan sekedar dalam mimpinya? kamu hanyalah angin barat yang menerbangkan debu kasar dari padang gurun yang panas....
Pesolek liar

hari ini aku berdandan, walau aku tak suka, aku tak peduli. Sebab ini hari tidak biasa, ini
hari istimewa. aku ingin tampak lain, ingin menjadi orang lain. menjadi orang yang
dicintainya, yang tak pernah bisa untuk kulewati dalam setiap mimpi.

Untuk semua itu aku berdandan, menata letak dasi kupu-kupu, menata hati untuk menemu
takdir. Dengan pakaian biru aku mengaca. dalam wajah lain yang terencana, dan aku tak
mengenalnya. aku bawa segala yang aku punya. yang terendahkan dan tersimpan dalam.
dibawa berat bersama langkah yang ragu.

ketakutan itu, ketakutan yang kini meraja. Untuk ada rasa lemah, takut, ragu. Dan aku
adalah jiwa satria yang luka.
"cinta merupakan cermin bagi seseorang yang sedang jatuh cinta untuk mengetahui watak dan kelemahlembutannya dirinya dalam citra kekasihnya.
karena sebenarnya dia tak jatuh cinta kecuali pada dirinya sendiri."
Seperti ini sajakah kisah tentang negeri?
Orang mati dan bangkainya menyebar bisu
Lalu apakah tongkat kayu dan batu akan selalu jadi abu?
Semua mengambang kaku. juga Tanyaku.

Di atas bukit nanti aku akan selamat dari badai
Menyemai mimpi di bawah kaki-kaki sendiri
Sampingnya tentang ilalang tentang jangkrik dan belalang
Bersama menyanyi rasa piala sakit yang digiliri
Satu-satu mati dari sadar, dipendam dalam nisan tak terpahat

28 Dec, 2004 - Cerita tentang Tsunami
hari hari sendiri, seperti terbiasa menganyam waktu. Membantu untuk belajar tentang rasa sesal, dan hanya itu. Kita masih sama belajar tentang arti hidup, arti cinta, sedang banyak orang mati sambil tetap bertanya-tanya.

Anjing gila takkan pernah tahu kapan ia dilahirkan, untuk mengenang umurnya hanya saat ia mengenyam malam menjadi duka. Dan setiap orang yang berpikir dia seorang waras, dia hanya menjadi penyela yang kehilangan kata-kata. Jika kamu lihat dia menari dalam gerakan yang aneh, dia sebenarnya hanya mencoba untuk memuja kegilaannya dalam kehidupannya, dalam waktu yang tak pernah melahirkannya.

Tak usah bersedih untuknya, karena dia berlari menuju mimpi malam yang tak pernah terwujud dalam kenyataan. Dia tersenyum sambil menginyam kuat lidahnya agar tak bicara lagi tentang kebohongan, kemunafikan. Dia berharap kelahirannya akan segera datang, sehingga dia dapat melihat mentari pagi dengan sinar emasnya sendiri.

Jika melihatnya mengais-ngais sampah dalam kemuraman wajah malam, mungkin banyak orang yang berpikir tentang kemiskinan yang dideritanya, tapi cobalah tanyakan kepadanya arti kekayaan, mungkin jawabannya akan meyakinkanmu akan kegilaannya itu. “Kekayaan adalah sampah yang berisi kumpulan tulang”.

Sudahkah kau cukup melihatku terluka dengan kaki-kaki yang pincang. Dan disitu senyummu mengambang seperti awan melipat wajah dilangit yang luas. Aku ingin bicara padamu tentang arti kesucian, kesetiaan dan pengorbanan jika saja kau mau mendengarnya. Dengar itu dan biarlah lewat menderu, karena habis ini takkan ada lagi yang lewat dibukit sepi itu. Suara mendayu dan memohon takkan lagi kuperdengarkan untukmu. Untukmu hanya akan kuberi cerita tentang malam yang selalu kesepian, tentang rasa aneh yang menjalar diatas tanah bebatuan dan rumput yang becek kehujanan.

Kau seperti bidadari yang turun dari kahyangan bersama pelangi, lalu hilang setelah gerimis pergi. Tapi sebenarnya ada, atau mungkin banyak, sisa yang kau tinggalkan. Juga rindu di jiwa yang membeku di genderang suara kepak sayap anggunmu. Beribu mataku seperti belalang tak henti-henti menikmati indahmu, sampai akhirnya genderang dari tambur kelam terpaksa menyerahkanmu pada gelap. Kegelapanku.

Sekarang yang ada adalah selembar bulu dari sayapmu yang jatuh dipangkuanku ketika aku tidur di dipan kayu. Juga harum wangi indah tawa dan senyummu yang terpahat kaku dalam kalbu. Dengan selembar bulu itu, aku coba menirumu mengepak-ngepakkannya untuk menyusulmu terbang. Tapi suara kepakannya tak lebih keras dari suara tawa burung pipit yang menertawakan kebodohanku.

Mengapa aku mencintaimu? Aku tak pernah tahu. Dan ketika aku tanya hal itu padamu, kau menjawabnya, “Seekor binatang lebih tahu darimu”. Akankah aku sepandai itu menerjemahkan kalimatmu hingga menyimpulkan bahwa aku tak berhak tahu akan diriku sendiri yang jatuh cinta padamu?

Sampai kapan dan dimana ujung pelangimu? Akan kuikat disana ujungnya dengan nyawa agar tak lepas meskipun gerimis telah pulang. Dan nanti aku akan meniti setiap warnanya untuk menemuimu, jika kau sudi menerimaku. Sebagai persembahanku kubawakan untukmu, kesombongan. egois dan sebuah kalung dari rangkaian batu kali sebagai lambang kemiskinanku. Ataukah kau ingin kuberikan seikat kembang bangkai sebagai pengharum istanamu?

Mungkin aku lebih baik berkumpul dengan elang-elang laut yang menertawai nasibnya, sembari omong kosong bahwa besok angin muson dari barat akan membawa perubahan nasib. Yang membawa emas dari batu-batu kali?.

Bantu aku membuang diriku, Aku benci diriku

Aku tahu bahwa aku ini bodoh sekali, tapi kenapa aku masih saja suka berkoar tentang hebatnya aku. Mbok ya aku ini ditegur atau dikasih pelajaran sekalian biar kapok, atau paling tidak kasih saja aku kaca biar anak goblok ini bisa bercermin.

Aduh kenapa sih kamu ? kok kamu gak risih liat orang kayak aku di dunia ini, bukannya aku cuma bisa bikin kotor duniamu saja. Kirim donk aku ketempat dimana tawa tak ada lagi, biar ada cuma sepi. Dan akupun tak akan pernah peduli. Laparku, tangisku, dukaku semua milikku, dan tak pernah aku mengijinkan kamu memilikinya, sebab cuma itu yang aku punya. Masak kamu masih tega merebutnya ?

Biarpun begini aku masih punya hati nurani lho. Aku nggak suka dilangkahi, aku nggak suka dikhianati, aku juga nggak suka cuman jadi alat bagi penguasa untuk cari muka. Yah memang sih aku ini udah nggak punya muka lagi, jadi mereka yang coba manfaatin aku untuk cari muka ya nggak dapat apa-apa. Kasihan deh lu.

Hebatnya lagi, meskipun aku ini bodoh, tolol, pengecut, jelek dan kasta budak, tapi aku ini sombong banget. Aku ini egois banget, aku nggak mau ngertiin adanya bom atom atau perang nuklir. Bahkan tahu nggak waktu bom atom meletus di jepang waktu itu, aku cuman nyantai baca koran kumal tentang wts yang digerebek sampai nyebur got sambil menikmati sedapnya susu yang mulai basi.

Heheheee ada ada saja kamu, kok nanyain pekerjaanku segala. Tapi ya gak apa-apa kok, juga baru kali ini ada pertanyaan macam itu. Aku ini kerjanya gak pasti, mirip aku yang totally nomaden juga. Pagi bisa nyuri, malamnya nggarong, kalau masih ada waktu biasanya nyopet di bus kota, kalau nggak malah yang kena copet. Tapi biasanya kalo ada yang mau copet udah kuberitahu dulu kalo aku ini gembel, jadi ya nggak punya apa-apa. Kasihan khan nyopet susah-susah tapi gak dapat apa-apa, kalo keatahuan di massa lagi. Gimana donk nanti nasib anak istrinya ? eh iya ya aku bisa pengertian juga ya sama orang lain. Mana ada sih ada orang sebaik aku ini hingga mau merhatiin nasib copet segala.

Udah deh, cepet kamu tulis ini di surat kabarmu, biar cepat dunia tahu tentang aku dan cepat menyingkirkan aku. Bantu aku membuang diriku, Bantu aku membenci diriku. Bantu aku lari di lorong duka bersama tangis takdir yang fakir. Bantu aku ya. Please!! Aku tahu kamu orang yang lebih tahu tentang kebenaran, keadilan dan kepercayaan daripada aku.

Salamku pada pelangi malam yang berkerudung.

Aku pikir aku sudah gila

Baiklah ia yang mendasar dari mimpi yang tanggal
Dari siapa yang mengakari aku dengan memuja
Katakan dengan keras tentang rasa rindu, dan hati yang meranggas
Lupai aku dengan rasa salah tak bertahan

Wednesday, May 30, 2007

Suatu waktu, saat aku berjalan di jalanan sepi di kampung kelahiran. Ada hal yang tak pernah kutemukan di kota tinggalku, Surabaya. Langit yang bertabur bintang, gemericik sungai mengaliri sawah, suara jangkrik dan udara yang segar.
Apakah ini cuma sebagai sebuah romantisme yang kembali muncul, saat kita telah merasa jauh dari hal-hal seperti itu dan tiba-tiba dihadapan kita berdiri lagi sosok itu? Sebuah keadaan yang membawa emosi pribadi tiap orang dengan suatu keadaan yang hilang dan baru ditemukan kembali. Untuk itu kita akan menemukan alasan kuat kenapa setiap ada kesempatan, semodern apapun sebuah kota atau masyarakat, akan mencoba kembali ke masa lalu, walau cuman seperti sebuah rumah singgah yang tak akan ditinggali selamanya.

Sebuah sejarah tersimpan disitu, diantara lapak2 pasar tradisional tempat dulu menggandeng tangan ibu, diantara pematang sawah tempat terpeleset ke lumpur, di bangunan tua gedung SD. Kita telah melalui itu, dalam suatu proses yang seakan terjadi begitu saja. Lama memang prosesnya, namun gemanya tak lagi nyaring. Hanya sebuah sebuah potret buram yang kabur.

Ini sejarah kecil, takkan ada dalam buku "Sejarah untuk Sekolah Menengah", tak akan pernah ditemukan diantara tumpukan buku di British Museum ataupun arsip nasional RI. Namun itu berharga, bagi tiap pelakunya. Dan kadang lebih bergema dari gaung sejarah kemerdekaan. Gema yang lemah, namun kuat tertambat.

Friday, March 02, 2007

Kau pikir ini ombak? Bukan, ini cuman desir angin.
Kebiasaanmu mendengar dalam sepi telah membesarkan anggapan akan sesuatu. Jika itu gemericik air pastilah kamu katakan itu banjir. Lalu apakah es akan kau anggap sebagai api yang beku?
Tanyalah dirimu sendiri, karena pada jiwamulah letak semua kebenaran. Dan ketika kamu tenggelam, pada ombak desir anginmu, kamu sebenarnya tetap ditempatmu, dengan mata sayu dan jiwa yang hampir mati.